Selasa, 14 Juli 2009

Di Tengah Polemik UU BHP



Seperti diketahui, pro-kontra undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) masih bergulir tiada habisnya. Mulai dari kalangan pendidik, mahasiswa hingga politisi turut menghebohkan UU BHP.


Sekelompok masyarakat menganggap UU BHP merugikan kaum miskin. Keberadaannya dinilai mengarah pada komersialisasi pendidikan. Alhasil, banyak pihak yang menginginkan UU BHP dihapuskan. Anggapan lainnya, UU BHP memberikan peluang terhadap perguruan tinggi untuk memungut biaya dari calon mahasiswa sebesar-besarnya sehingga harus ditinjau ulang. Secara khusus, UU BHP juga disinyalir mengancam konstitusional dan eksistensi yayasan, perkumpulan atau badan hukum pendidikan sejenis lainnya. Serta menimbulkan tanggapan kritis atas anggapan adanya penyimpangan terhadap UUD 1945, UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, serta mengandung mengandung kerancuan hukum yang serius, diskriminatif, dan melanggar asas kebinekaan.

Sementara itu, pro UU BHP pun tak kalah bergulir. UU Nomor 9 Tahun 2009 itu digadang-gadang sebagai bentuk otonomisasi dan demokrasi pendidikan dan bentuk reformasi struktural. Pasalnya, dengan berlakunya UU BHP dimungkinkan masyarakat dan guru terlibat dalam kepengurusan sekolah. Bahkan UU BHP tetap mengatur pemerintah memberi bantuan beasiswa dan bantuan dana kepada lembaga pendidikan swasta. Kemudian, dengan adanya UU BHP akan memungkinkan adanya sistem pelaporan keuangan secara berkala. Tak sedikit pula pihak yang menyambut karena UU BHP dianggap akan mengarah pada upaya penyamaan pendidikan negeri dan swasta mulai dari pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Adanya UU BHP pun memungkinkan perguruan tinggi berinvestasi melalui kemitraan dengan lembaga lain, dan hasilnya untuk kemandirian perguruan tinggi itu sendiri. Jika suatu perguruan tinggi terpaksa gulung tikar karena kualitasnya jelek maka memungkinkan merger dengan lembaga pendidikan lainnya, sehingga masyarakat tidak dirugikan.

Di tengah pro-kontra UU BHP, Yayasan Pendidikan Telkom (YPT) dan Institut Teknologi Telkom (IT Telkom) tampaknya masih ‘kalem’ menyikapi polemik tersebut.

“Adanya UU BHP bukan sesuatu kekhawatiran yang mengagetkan apalagi mengecewakan, “ ujar Presiden Direktur Yayasan Pendidikan Telkom (YPT), Dr.Herry Kusaery.

Ia menjelaskan, UU BHP menjadi kekhawatiran bagi yayasan yang sifatnya personal atau dimiliki oleh sekelompok orang. Namun YPT merupakan bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) sehingga menjadi milik umum. Tentu tujuannya bukan komersil melainkan untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia mengaku, YPT tidak merasa diuntungkan atau pun tidak dirugikan dengan adanya UU BHP.

Kendati demikian, bukan berarti YPT tanpa persiapan menghadapi BHP. YPT berencana untuk mengembangkan usaha di luar sektor pendidikan untuk mencari pendapatan non tuition fee. Ia pun mengabarkan, YPT kini tengah membangun perusaahaan yang bernama PT. Cipta Suka Pura Megah,

“Dalam UU BHP disebutkan bahwa setiap perguruan tinggi, baik BHP Negara maupun BHP Masyarakat, diperbolehkan untuk melaksanakan pengelolaan usaha. Dengan catatan, pengelolaan tanah dan bangunan masih menjadi tanggung jawab yayasan. ” jelas Herry.

UU BHP memang membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk membuka sektor usaha sehingga menjadi mandiri. Namun harus tetap fokus pada tridharma perguruan tinggi.

“Proses pemberdayaan, itulah yang saya lihat dari UU BHP. Jika di dalam tubuh perguruan tinggi berdiri perusahaan, maka tidak menutup kemungkinan bagi mahasiswa dan dosen untuk ikut terlibat di dalamnya,” papar Hery. Menyoal masalah pendapatan, Herry menyebutkan bahwa YPT tidak menerima sepeser pun dari institusi yang berada di bawahnya. Begitu pun PT Telkom tidak menerima sepeser pun dari YPT. Pendapatan institusi memang masih didominasi oleh tuition fee dari mahasiswa. Sebesar 80% dari pendapatan tersebut dialokasikan pada pembangunan infrastruktur, dan 10% untuk kesejahteraan karyawan. Sedangkan 10% ditahan untuk simpanan. PT Telkom juga pernah menghibahkan dana abadi yang harus dikelola dengan baik. Kalau dipakai terus pasti ada habisnya. Dengan merambah dunia usaha diharapkan dapat mempertahankan dana abadi tersebut.

“Kalau bisa, uang kuliah mahasiswa jangan dulu naik, kalau bisa cenderung tetap. Jadi kita harus terus mengupayakan pendapatan lain-lain,” kata Herry.

Senada Herry, Rektor IT Telkom, Ir. Husni Amani, MSc., MM berpendapat bahwa keberadaan UU BHP tidak terlalu bermasalah bagi IT Telkom. Selama 18 tahun keberadaannya, IT Telkom sudah mandiri dalam hal manajemen , keuangan , logistik dan lainnya. Ia pun melihat adanya kemajuan jika institusi diberi wewenang yang lebih besar. Jadi ia tetap berusaha positive thingkng. Ia menambahkan , kemunculan UU BHP dapat menjadi jembatan menuju WCU bagi IT Telkom. Memang tidak terlalu berpengaruh besar. Namun, pemberlakuan UU BHP akan member sedikit perubahan pada institusi. Di antaranya penyesuaian aturan-aturan internal, penerapan target kerja Satuan Kinerja Individu dan implementasi ISO 9001 : 2008.

“Perubahan sistem pengelolaan keuangan institusi harus lebih diwaspadai. Otonomi kampus harus di topang dengan tenaga professional yang mampu mengelola institusi dengan baik,” ujarnya.

Pun disampaikan Husni, IT Telkom akan terus berupaya melakukan regenerasi sumberdaya manusia professional. Oleh karena itu adanya program studi baru dan gelaran program-program nasional seperti GemastIK menjadi andalan upayanya.

“Dua hingga tingga tahun belakangan , IT Telkom sudah banyak mengadakan banyak kegiatan,” pungkas Husni.

Husni memandang, dari segi komitmen, semangat dan kemampuan SDM sudah mulai tampak pertumbuhan positif. Perbaikan sistem dapat berlangsung cepat karena prosedurnya mudah. Tinggal bagaimana membangun budayanya saaja karena itu akan lebih sulit.


“Seandainya UU BHP benar-benar diterapkan, secara otonomi IT Telkom akan lebih rapi, spesifik dan hati-hati, terutama menyangkut pengelolaan keuangan. Bahkan pengelolaan keuangan akan lebih bersifat jangka npanjang yang mengarah ke inventasi,”

Menilik kontroversi UU BHP , Husni menanggapi sebagai hal yang wajar. Pasalnya, masalah pendidikan di Indonesia cukup kompleks . Termasuk banyaknya rakyat Indonesia yang kurang mampu mengenyam pendidikan, inillah yang harus diperhatikan pemerintah saat ini.

Husni pun membenarkan bahwa tuition fee masih menjadi andalan pemasukan institusi. Namun IT Telkom terus mengupayakan agar biaya itu tidak terlalu tinggi. Salah satunya dengan melakukan usaha pengembangan institusi untuk meningkatkan pendapatan non tuition fee, sehingga tidak memberatkan mahasiswa. Ini pula yang menyebabkan UU BHP tidak berpengaruh begitu besar pada IT Telkom. Namun ia tidak menggeneralisasikan perguruan tinggi lain seperti halnya di IT Telkom karena bagaimana pun masing-masing kondisinya berbeda.

Di level fakultas UU BHP diyakini dapat merangsang kompetisi positif. Hal itu diakui Dekan Fakultas Teknik Elektro dan Komunikasi (FTEK), Ir Jangkung Raharjo, MT, dan ia menyebutnya sebagai pemberdayaan potensi fakultas.

“Pemberdayaan potensi fakultas berujung pada pendapatan non tuition fee. Disamping itu, UU BHP memungkinkan kemudahan birokrasi sehingga kinerja lebih cepat dan efektif. Simpel namun tetap transparan terhadap institusi,” paparnya.

Ia menambahkan, pemberdayaan potensi fakultas tersebut disertai pendistribuasian wewenang dari institusi. Sehingga kompetisi positif antar fakultas tumbuh dengan sendirinya. Pun Jangkung mengakui, sebelum UU BHP ada FTEK sudah mempeloporinya dengan mengadakan kerja sama untuk mendatangkan non tuition fee. Kerja sama yang terjalin di antaranya dengan kalangan pemerintah dan industri.

Banyak peluang yang dapat menghasilkan non tuituon fee yang dapat menyokong pengembangan institusi. Ia yakin UU BHP akan menjembatani institusi untuk mewadahi kerja sama yang dilakukan di level fakultas. Namun yang terpenting adalah pengaturan mekanismenya terutama terkait transparansi keuangan.

“Ketika UU BHP berlaku, maka kewenangan fakulitas jadi lebih menonjol terutama terkait kerjasama dengan pihak luar. Institusi hanya meniapkan aturan-aturan global. Sedangkan pelaksana ada di level fakultas,” kata Jangkung.

Di level fakultas, Jangkung mengaku FTEK siap hadapi UU BHP. Malahan ia menginginkan agar pemberdayaan potensi fakultas tak perlu menunggu lagi. Jika tidak dilakukan sekarang, banyak peluang yang akan hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar