Sabtu, 23 Mei 2009

Saatnya BUMN Lirik “More OPEX Less CAPEX”

IT TELKOM, SABTU (23/5)- Nyatanya, peningkatan capital expenditure (CAPEX) teknologi informasi (TI) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lebih besar dari pada operating expenditure (OPEX)-nya. Trend-nya menyebutkan, gap antara CAPEX dengan OPEX menunjukan kecenderungan semakin lebar. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan paradigma pengelolaan TI dimana efisiensi perusahaan tercapai apabila OPEX lebih besar daripada CAPEX-nya. Maka sudah saatnya BUMN mengadopsi konsep More OPEX Less CAPEX.

Memang tidak semua perusahaan menggunakan CAPEX dalam budgetnya. Penggunaan CAPEX umumnya digunakan oleh perusahaan besar yang memiliki basis konsumen cenderung stabil dan bermodal besar seperti perusahaan telekomunikasi misalnya. Secara akuntansi, segala pembelian, perbaikan atau penggantian dari aset perusahaan termasuk dalalam CAPEX. Sedangkan OPEX pada dasarnya digunakan untuk menjaga kelangsungan aset dan menjamin aktivitas perusahaan. OPEX bersifat harian sehingga biaya operasi tidak meliputi pajak pendapatan, depresiasi, dan biaya financing seperti bunga pinjaman. OPEX dialokasikan secara tersencana dalam budget untuk melakukan operasional perusahaan.

Secara umum aktivitas belanja TI pada perusahaan di Indonesia masih didominasi dengan belanja modal, yang di antaranya pembelian hardware. Bahkan, rate pertumbuhannya juga lebih tinggi ketimbang software dan IT Services. Disampaikan Staf Ahli Khusus Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Alexander Rusli, Ph.D, saat menyampaikan orasinya pada Kuliah Umum Observasi Perkembangan TIK Korporat dan Kondisi TIK di BUMN, di GSG Kampus Institut Teknologi Telkom (IT Telkom), Sabtu (16/5).





“Dari aspek penganggaran, manajemen BUMN masih cenderung menempatkan porsi CAPEX TI lebih besar ketimbang OPEX TI,”











Menurutnya, konsep more OPEX less CAPEX jelas lebih menguntungkan. Dengan demikian, manajemen akan terhindar dari biaya depresiasi atau amortisasi dari investasi software dan hardware yang dinilai cukup besar. Dengan, konsep more OPEX less CAPEX maka tidak ada disposal aset dan tidak pula memerlukan maintenance cost atas perangkat TI. Pun, konsep tersebut memberikan fleksibilitas pada saat meng-up-grade hardware di akhir masa lease. Ia menilai, selama ini BUMN kurang memiliki fleksibilitas. Hal tersebut menjadi penghambat dalam menghadapi persaingan dengan perusahaan swasta yang agresif dan tumbuh pesat.

Boleh saja jika selama ini Return On Assets (ROA), Return On Equity (ROE) dan Profit Margin kerap menjadi indikator utama yang dilirik investor. Namun jangan lupakan aspek TI. Karena kehandalan dan kapasitas pengelolaan TI pun kini turut diperhitungkan investor.

“Di era persaingan bisnis, keputusan pengelolan TI sama pentingnya dengan pengelolaan perusahaan secara keseluruhan. Suka atau tidak, manajemen BUMN harus dapat mengelola TI sedemikian rupa sehingga performance BUMN menjadi lebih fleksibel sehingga mampu bertahan ditengah kompetisi Industri,” kata Alexander.
Kesalahan dalam pengambilan keputusan masa sekarang akan berdampak negatif bagi perusahaan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Alexander pun menyayangkan bahwa belum semua BUMN besar menggunakan Enterprise Resource Planning (ERP).

Meninjau kembali satu dekade kebelakang, TI pengelolaan korporasi cenderung menerapkan Enterprise Resource Planning (ERP). Keunggulannya, ERP mampu mengintegrasikan seluruh aktivitas bisnis korporasi. Melalui executive dashboard, maka dengan ERP dapat diperoleh informasi untuk pengambilan keputusan secara cepat dan akurat.

“Informasi terkait keseluruhan aktivitas bisnis korporasi dapat diintegrasikan dan ditampilkan sesuai kebutuhan dengan memanfaatkan personalize device dalam penggunaan ERP. Saat ERP terkoneksi dengan jaringan internet, informasi tersebut dapat diakses dengan mudah sesuai kewenangan dan kebutuhan kapanpun dan dimanapun,” papar Alexander. Piranti lunak korporasi seperti ERP serta biaya pembangunan jaringan murah, menjadikan perusahaan mampu memperbanyak proses bisnisnya.

Kini dunia telekomunikasi sudah masuk pada era konvergensi. Penggabungan antara teknologi informasi dan komunikasi rupanya telah menepis hal-hal yang mustahil menjadi mudah dilakukan. Tinjau saja, penggunaan smart phone yang kini tak hanya mampu menelpon saja, tetapi juga bisa mengakses data, akses email, video converence , hiburan musik dan televisi. Pun, personal computer (PC) tidak hanya untuk mengakses data saja, melainkan seseorang dapat menikmati hiburan, video, bahkan siapapun dapat berkomunikasi secara visual. Ihwal konvergensi, Alexander memperkirakan, ada kecenderungan dimana TIK device, mengarah pada personalize device.

Phone and PC driven trend,“ ujarnya.

Alexander menyampaikan, seiring dengan perkembangan inovasi TI yang sangat cepat, maka perusahaan harus tetap mawas diri untuk senantiasa memperbaharuinya. Boleh jadi, pesaing akan meniru teknologi milik suatu perusahaan, bahkan dengan mudahnya ia mampu membangun inovasi yang lebih kuat berdasarkan teknologi yang dimiliki perusahaan tersebut.

“Tanpa TI, sebuah perusahaan tidak akan maju. Sehingga investasi di bidang TI harus dilakukan secara terus menerus,” ujarnya. Ia pun menyebutkan, TI dan inovasi digital penting bukan karena banyaknya produk yang berubah menjadi digital, melainkan karena banyaknya proses bisnis yang berubah menjadi digital.

Paradigma bahwa more OPEX less CAPEX lebih menguntungkan perusahaan seharusnya menjadi pemikiran baru bagi BUMN dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan dengan adanya kecenderungan perubahan teknologi informasi korporase serta adanya gap implementasi teknologi informasi di BUMN secara umum harusnya menjadi peluang positif bagi industri telekomunikasi khususnya BUMN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar