Jumat, 21 Mei 2010

Dies Natalis ke 18 UKM Kesenian Bali Widyacana Murti, Satu Nuansa Delapan Pesona

Seni budaya Bali selalu terkesan sakral namun mempesona. Pesona Bali itu ditampilkan pada malam Dies Natalis ke 18 UKM Kesenian Bali Widyacana Murti, yang berlangsung di GSG Sabtu lalu (15/5). Acara yang bertajuk Satu Nuansa Delapan Pesona itu menampilkan tari Pendet, Tabuh Tegak, Tari Jauk Manis, Tari Legong Kuntul, Kecak dan Sendratari Narakusuma. Tarian demi tarian tampil memukau di atas panggung. Musik gamelan menjadi saksi setiap gerakan penari yang bercerita tentang kehidupan para dewa.

Pada awal sejarahnya, tari Pendet merupakan tarian yang ditujukan untuk pemujaan di Bali. Biasanya, Pendet diperagakan di Pura. Pendet melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Namun seiring perkembangan zaman, Pendet berubah fungsi menjadi tarian ucapan “Selamat Datang”. Pada malam itu, Pendet hadir di awal pembukaan acara Dies Natalis ke-18 UKM Bali Widyacana Murti. Tarian itu dibawakan oleh anak-anak dari sanggar Asmarandana. Pertunjukan pun berlanjut pada Tabuh Tegak, permainan musik gamelan Bali.

G. Dian Aditya membawakan tari Jauk Manis malam itu.Tarian ini menggambarkan seorang raksasa yang tengah berkelana. Dian menggunakan topeng dan gelungan yang menjadi ciri khas Jauk Manis. Kendati tarian ini memiliki gerakan fleksibel, Dian membawakannya dengan penuh wibawa.

Dies Natalis ke-18 UKM Bali juga menampilkan Tari Legong Kuntul. Tarian klasik dari Bali dengan gerakan-gerakan kompleks. Tarian ini dibawakan oleh empat penari Wina, Paramitha, Rini dan Dwi.

Sendratari Narakusuma mengisahkan tentang perjalanan Raden Narakusuma dari kerajaan Madra. Dikisahkannya, Raden Narakusuma ingin mengikuti Sayembara di Madura untuk mendapatkan Kijang Putih untuk dibawa kehadapan Raja. Untuk itu, raden Narakusuma mengumbara ke tengah hutan. Dalam perjalanannya, ia bertemu seorang raksasa yang bernama Daitya Kala Dharma. Sang raksasa memaksa raden Narakusuma untuk menikahi putrinya yang bernama Kancawati. Hingga akhirnya Narakusuma pun menikahinya.

Puluhan penari laki-laki berbaris melingkar dengan iraama tertentu menyerukan ‘cak’ berulang-ulang sambil mengangkat kedua lengan. Pada tari Kecak mengisahkan Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Penari menggunakan kain poleng dan kincringan di kakinya. Tarian ini tanpa diiringi alat musik.

Sebelum Dies Natalis ke 18 UKM Kesenian Bali Widyacana Murti berlangsung, Pameran Kesenian Mahkota Pulau Dewata yang digelar Senin- Selasa (10-11/5) di Student Hall IT Telkom. Kemudian pawai Ogoh-ogoh di Lapangan Rektorat pada Selasa malam (11/5). Dalam kebudayaan Bali, Ogoh-ogoh menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala). Perwujudannya, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan. Ogoh-ogoh sering digambarkan dalam wujud mahluk-mahluk yang hidup di Mayapada, Syurga, dan Naraka.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar